Minggu, 07 Mei 2017

Ekspektasi dan realita dunia jurnalis

Dalam sepuluh tahun terakhir merupakan tahun-tahun dimana percepatan dunia jurnalis yang begitu tak terkendali. Hal ini dimulai pada awal masa reformasi sebagai wujud dari kebebasan pers dari belenggu tirani yang berkuasa begitu lama pada masa orde baru. hingga sekarang kebebasan pers dapat di junjung tinggi oleh setiap media maupun pribadi.
pekerjaan sebagai jurnalis sangat menantang, selalu dikejar deadline dan dituntut untuk selalu tepat waktu demi menyajikan sebuah informasi yang layak bagi para pembaca/penonton. tidak hanya itu pekerjaan ini juga secara tidak langsung membuat wartawan semakin banyak memiliki link terhadap orang-orang kredibel dalam berbagai bidang serta dapat menambah wawasan dari wartawan itu sendiri. Maka tak heran jika dewasa ini profesi sebagai jurnalis menjadi salah satu profesi primadona. Bahkan banyak perguruan tinggi yang kebanjiran mahasiswa pendaftar pada jurusan ilmu komunikasi, broadcasting, jurnalistik.
termasuk penulis yang saat ini menduduki semester 6 pada program studi ilmu komunikasi. Namun sayang ekspektasi penulis terhadap dunia jurnalistik sedikit melenceng, sehingga saya memutuskan untuk memilih konsentrasi Public Relations pada semester 5 lalu. perputaran haluan ini bukan tidak beralasan, justru berdasarkan pada beberapa permasalahan yang saya rasakan.
Awalnya saya mengagumi profesi jurnalistik, dunia jurnalistik saya analogikan layaknya depenser dan galon isi ulang. ketika air di dalam galon adalah air putih maka pada saat kita menanai gelas dan menuangkan air yang akan keluar juga air putih, namun ternyata tidak, saat kita menanai gelas pada galon yang berisi air putih justru yang akan keluar dapat berupa teh, kopi, sirup, bahkan susu.
Artinya apa ? dalam dunia jurnalistik, infomasi yang ada dilapangan bisa jadi berbeda dengan informasi yang disampaiakan kepada khalayak, baik berupa pembohongan secara langsung, pengurangan infomasi, serta pembelokan informasi. dalam menyampaikan informasi media memang diatur oleh kode etik jurnalistik, namun tetap saja media dapat melakukan pembohongan secara tidak langsung tanpa harus melanggar kode etik. Ketika ada sebuah kejadian atau perkara media tidak mem publis secara menyeluruh semua rentetan kejadian namun hanya mem publis sepenggal dari kejadian yang dapat menggiring opini khalayak pada kesimpulan tertentu sesuai dengan kepentingan, hal ini dinamakan dengan framing.
pada tinggakatan yang lebih kecil juga kerap terjadi penyimpangan, seperti adanya wartawan bayaran, hal ini terjadi karna adanya pihak-pihak yang meminta diliput atau bahkan tidak ingin diliput dengan membayar wartawan tersebut. Kejadian seperti ini sangat disayangkan, mengingat wartawan ada salah satu dari pekerja media yang dimana fungsi media itu sendiri adalah sebagai kontrol sosial. para pemengang kendali berita juga tak luput, seperti pimpinan redaksi misalnya, apabila sebuah media yang ia tempati adalah milik seorang pelaku politik, maka bukan tidak mungkin isi pemberitaan yang digarap akan mendapat intervensi dari pemilik media.
ironi memang, inilah realita. ideologis yang didapat dibangku kuliah tidak dapat sepenuhnya diterapkan di dunia kerja yang menimbulkan dilematis.
realita dan dan ekspektasi memang kerap tidak sesuai.

0 komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.